Sebenarnya, pembahasan ini sudah banyak yang mengulas. Kritikan, sindiran, dan sarkas atas seremonial tersebut, berhamburan di internet. Tapi okelah, saya persembahkan opini ini sebagai tambahan arsip pada belantara digital. Mari coba kita bedah, secara lebih—semoga—filosofis atau minimal gak basi-basi amat lah.
Beberapa tahun terakhir, di banyak daerah di Indonesia, kita menyaksikan fenomena yang kian menggejala; prosesi wisuda yang dilakukan oleh siswa-siswi mulai tingkat taman kanak-kanak—bayangin, bocil baru bisa nulis nama sendiri udah diwisuda—sekolah dasar, hingga menengah. Toga dikenakan, panggung disewa, gedung dibooking, foto profesional, videotron—ini yang sedang marak—rias wajah ala selebriti dan biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Bukan hanya institusi pendidikan formal, pesantren-pesantren yang mengusung nilai kesederhanaan dan religiusitas juga ikutan latah. Namun, di balik gemerlap seremoni ini, ada pertanyaan mendasar yang seolah luput kita ajukan: apa sebenarnya yang sedang dirayakan?
Prosesi wisuda-wisudaan di jenjang pendidikan dasar hingga menengah—termasuk di pondok pesantren—muncul sebagai sebuah fenomena yang mengaburkan batas antara realitas dan ilusi. Wisuda yang sejatinya merupakan simbolisasi pencapaian akademik dan transisi menuju fase intelektual yang lebih matang, kini tereduksi menjadi sekadar pertunjukan simbolik nan teatrikal. Anak-anak yang bahkan belum memahami makna epistemologis dari belajar, kini telah dimahkotai dengan toga dan selempang, seolah telah menyelesaikan suatu fase agung dalam perjalanan kognitifnya.
Perayaan ini, yang kerap dibungkus retorika “penghargaan atas prestasi”, sesungguhnya adalah formalitas yang terdegenerasi: sebuah tiruan tanpa referensi ontologis!
Jujur, saya jengah dan muak. Setiap tahun membaca berita yang sama; wali santri A, wali murid B yang mengeluhkan biaya prosesi terakhir putra-putri mereka itu. Sampai akhirnya harus berhutang ke kerabat atau tetangga, sebab biaya yang terlampau tinggi—setara dengan biaya makan keluarganya selama dua pekan. Orangtua dari kelas menengah-bawah dipaksa untuk mengalokasikan sumber daya terbatas mereka pada seremonial yang sejatinya nirmakna.
Bayangkan, jumlah iuran yang ditarik sangat fantastis, mulai dari 500 ribu hingga 1 juta rupiah per siswa. Di Surabaya 1jt 150rb, wisuda TK di Sulsel 850 ribu, SD di Bandung 600rb, dll. Bahkan, saya pernah bertanya kepada salah seorang siswa yang menjadi panitia perhelatan di pesantren, total yang dihabiskan berjumlah 100jt lebih. Warbyasa! Tragisnya, dana itu juga berasal dari sumbangan santri-santri yatim yang seharusnya difasilitasi. Ya Allaah… apa sih sebenarnya yang dikejar oleh peserta dan panitia—lebih dalam disini—dimana peran pengasuh yang seharusnya hadir menjadi penjaga moral dalam ekosistem pendidikan yang berlandaskan nilai atau akhlak.
“Ini bagian dari syiar, agar pesantren tidak dipandang ketinggalan zaman.” Halahh! Syiar atau Gengsi?
Padahal, dalam tradisi pesantren salaf, kelulusan santri cukup dirayakan dengan mujahadah dan sungkeman—prosesi yang sarat makna dan nilai tanpa perlu mengeluarkan biaya fantastis.
Di sinilah terjadi pengkhianatan peran. Pengasuh pesantren, yang mestinya menjadi agent of taqwa, justru terkooptasi menjadi agent of consumerism. Pesantren; institusi yang lahir untuk melawan arus materialisme, justru menjadi bagian dari sistem yang mereka tentang. Kan miris!
Padahal, dalam konsep islam, kemewahan adalah bentuk keterpesonaan palsu yang harus dihindari. Bukan berarti gak boleh kaya lho ya, kaya dan mewah adalah dua hal yang berbeda.
Ini bahaya, lho. Prosesi wisuda tidak lagi menjadi ruang kontemplatif, melainkan bertransformasi menjadi representasi palsu yang menjauhkan peserta dari hakikat pendidikan itu sendiri. Prosesi wisuda telah direduksi sedemikian rupa hingga menjadi komoditas yang diperdagangkan dalam pasar simbolik.
Orang tua—dalam posisinya sebagai homo economicus—terjerat dalam siklus konsumsi yang dipaksakan oleh institusi pendidikan. Biaya gaun, sewa gedung, sound system, videotron, MUA, hingga foto profesional bukan sekadar pengeluaran finansial, melainkan ritual pembayaran untuk membeli ilusi status sosial. Kalau boleh membawa mbah Marx; dalam kerangka marxian ini adalah bentuk eksploitasi terselubung di mana nilai guna (use-value) pendidikan—yakni pencerdasan dan penumbuhan karakter—digantikan oleh nilai tukar (exchange-value) berupa gelar dan foto berbingkai. Ketika sertifikat lebih dihargai daripada kompetensi, pendidikan justru berubah menjadi aksi performatif yang mengukuhkan hegemoni kelas.
Alih-alih membentuk karakter dan nalar kritis peserta didik, prosesi semacam ini justru menanamkan benih narsisme dini, bahwa keberhasilan itu diukur dari penampilan. Bukan dari seberapa dalam mereka berpikir atau seberapa peka mereka pada masalah sosial. Cekrek-cekrek, upload Instagram, dapat validasi followers, selesai deh. Alih-alih diajak diskusi tentang arti kehidupan, mereka justru sibuk latihan pose untuk foto dan teriak yel-yel angkatan. Wkwkwk
“Lha, acara seperti ini kan menggerakkan ekonomi! Kami menyewa sound system, tenda, panggung, bahkan catering. Orang-orang yang menyewakan alat itu dapat rezeki. Apa salahnya?”
Saya paham betul argumen ini. Toh, kita semua butuh uang. Tapi coba kita renungkan: Apakah membangun ekonomi harus dilakukan dengan mengorbankan makna pendidikan?
Ibaratnya, kalau kita jualan junkfood—profitable but unhealthy—ke anak-anak, pasti uang berputar cepat, tapi apakah itu cara yang sehat untuk menggerakkan ekonomi? Tentu tidak. Begitu pula dengan wisuda yang terjebak dalam kemewahan: uang memang berputar, tapi nilai-nilai yang kita tanamkan justru tergerus.
Memang benar, tukang sound system dapat order, fotografer dapat job, vendor panggung dan dekorasi dapat cuan. Tapi pertanyaannya: Apakah ini satu-satunya cara untuk memberi mereka rezeki? Bagaimana jika dana yang sama dialihkan untuk membiayai workshop kreatif untuk anak-anak, atau proyek perbaikan perpustakaan di desa-desa? Bukankah itu lebih berkelanjutan dan sejalan dengan semangat pendidikan?
Yang terjadi sekarang, kita seperti terjebak dalam lingkaran setan: sekolah butuh uang, lalu menciptakan kebutuhan yang membuat orang tua mengeluarkan biaya tambahan. Vendor pun menawarkan paket wisuda semakin mewah karena ada permintaan. Tapi di ujungnya, siapa yang paling diuntungkan? Bukan anak-anak yang harusnya jadi pusat pendidikan, melainkan pasar yang menjadikan mereka sekadar komoditas. Ini membuktikan bahwa logika kapitalistik telah sangat menubuh dalam institusi pendidikan kita.
Jangan sampai kita membiasakan anak-anak melihat bahwa setiap pencapaian—bahkan yang sepele—harus dibayar dengan uang dan kemewahan. Bisa-bisa, besok mereka berpikir bahwa nilai diri itu diukur dari seberapa mahal pesta yang bisa mereka beli, bukan dari kontribusi mereka kepada sesama.
Jadi, ya—ekonomi penting. Tapi mari kita tak lupa; ada cara-cara berbagi rezeki yang tidak mengikis makna. Daripada menghamburkan 100 juta lebih untuk sekali acara, bagaimana jika dana itu dipakai untuk beasiswa anak tidak mampu di sekolah yang sama? Atau membangun taman baca yang bisa dipakai bertahun-tahun? Atau, mengganti wisuda mewah dengan proyek menanam 100 pohon mangga bersama siswa. Hasilnya? Selain jadi kenangan, buahnya bisa dijual untuk dana kas angkatan maupun sekolah. Itu baru namanya warisan!
Dengan begitu, uang tetap berputar, tapi esensi pendidikan tak hilang ditelan gengsi.
“Tapi kan ini momen sekali seumur hidup! Biarkan mereka punya kenangan indah!”
Saya tak menampik bahwa momen perpisahan itu istimewa. Tapi justru karena ia sekali seumur hidup, bukankah seharusnya kita memastikan kenangan itu benar-benar meaningful, bukan sekadar foto-foto yang nantinya hanya teronggok di penyimpanan gawai dan dihapus saat storage penuh?
Gini deh: ulang tahun pertama anak juga sekali seumur hidup, tapi kita tak perlu menggelar pesta pernikahan untuk merayakannya. Bukan berarti tak spesial—justru kesederhanaan seringkali membuat momen lebih intim dan fokus pada esensinya, tak ada gimmick.
Dan terkadang, dengan menjauhi gemerlap yang dipaksakan, kita memberi ruang bagi momen-momen kecil yang sesungguhnya tak ternilai untuk hadir.
Masalahnya, ketika kita menormalisasi kemewahan untuk acara sekali seumur hidup, kita secara tak langsung mengajarkan bahwa harga lebih penting daripada arti. Lalu, apa bedanya dengan pernikahan yang berakhir cerai karena lebih sibuk mengurus dekorasi daripada membangun komitmen? Heuheuu
Dan ingat: hidup ini panjang. Masih ada banyak sekali seumur hidup yang akan mereka jalani—wisuda sarjana, pernikahan, kelahiran anak, dll. Jika sejak kecil kita mengajarkan bahwa setiap momen harus dirayakan dengan kemewahan, maka ketahuilah; sebenarnya kita sedang menyiapkan generasi yang selalu haus validasi eksternal.
Haahh….
Hmmm rasanya kritik ini kurang lengkap tanpa menyelami akar kultural. Oke. Dalam konteks Indonesia—yang masih terjepit antara tradisi dan modernitas—prosesi wisuda adalah perpaduan paradoks antara local wisdom dan global consumerism. Pada perhelatannya, terkadang terlihat ada kearifan lokal, namun kentara sekali penyerapan pola konsumsi global. Pesantren, yang seharusnya menjadi ruang askesis (latihan rohani) untuk mencapai ketaqwaan melalui ketaatan dan kesederhanaan sebagi bagian dari akhlak, justru terjebak dalam kompetisi simbolik yang mengadopsi logika sekuler. Upacara wisuda menjadi semacam wayang kulit modern; bayangan yang menari-nari di atas layar, sementara dalangnya adalah sistem kapitalistik yang menggerakkan tali-tali ekonomi. Mereka menjadi objek pasif dalam drama yang disutradarai oleh opini publik, gengsi, dan hasrat akan pengakuan. Heuheuu
Kawan, kita perlu merekonstruksi ulang esensi dari wisuda. Pendidikan bukanlah garis finish yang dirayakan dengan pesta, melainkan perjalanan terus-menerus, panjang, yang mestinya membuat kita terus bertumbuh untuk mencapai eudaimonia—kata mbah Aristoteles—atau Insan Kamil dalam perspektif tasawuf.
Jika kita sepakat bahwa pembentukan karakter adalah inti dari pendidikan, maka prosesi wisuda tersebut mestinya menjadi ruang refleksi, bukan konsumsi. Mungkin sudah saatnya mengganti toga dengan diskusi filosofis, atau mengalihkan anggaran untuk proyek sosial—sebagai bentuk amal jariyah yang lebih substantif.
Pada titik ini, kita harusnya bertanya: Apakah acara seperti itu muncul karena memang perlu, atau demi gengsi? Apakah kita sedang mendidik manusia, atau sedang membentuk generasi penikmat ilusi? Apakah kita mengajarkan berpikir kritis, atau justru mengajarkan cara berpura-pura? Dan pada akhirnya; mungkinkah kita sedang membangun generasi yang cerdas secara estetis namun hampa secara ontologis?
Pentas seni sebagai ruang kreatif peserta? Melatih daya manajemen? Praktik berorganisasi? Itu biarkan milik yang pro. Wkwkw
Sekali lagi, ini adalah opini yang disampaikan di ruang publik. Selayaknya persepsi, setiap orang berbeda kacamata-nya. Setiap orang bervariasi tentang ide dan gagasannya. Silahkan berbeda! Adios.
Author : Zul Amri Fatinul I